Artikel ini di publiaksi di Koran Suara Merdeka tanggal 30 April 2008 http://citizennews.suaramerdeka.com
Menakar Hubungan Kyai-Santri
OLEH FATKHURI, S.IP, MA
Mantan aktifis PMII Jombang saat ini sedang menempuh studi Bidang Kebijakan Publik,
Pendapat bahwa santri harus sepenuhnya manut pada kyai, sekarang perlu dipertanyakan. Modernisasi telah mengubah kehidupan manusia, tak terkecuali sistem kehidupan yang telah lama mengakar di pondok pesantren. Arus modernisasi dewasa ini disadari ataupun tidak telah membawa berbagai macam perubahan hampir disemua lini kehidupan. Salah satu perubahan nyata adalah gencarnya penetrasi tekhnologi yang masuk yang pada tahapan berikutnya memungkinkan manusia menjadi lebih mudah melakukan aktifias sehari-hari. Tekhnologi seperti halnya alat komunikasi telah mampu mengubah persepsi masyarakat akan batas-batas ruang teroterial yang selama ini dianggap susah (Untouchable) untuk dijangkau. Namun fakta telah mampu mengubah segalanya dimana kecanggihan technology telah memberikan tawaran kemudahan bagi manusia sehingga mereka bisa secara bebas berhubungan atau berkomunikasi dengan siapaun tanpa harus bertemu (face to face) dimanapun mereka berada. Pada tataran tertentu, kenyataan ini tidak selamanya memberikan dampak positif dimana hal ini pada gilirannya memiliki kecendrungan terhadap berkuranganya rasa kesetiakawan dalam bentuk lahiriah (fisik) dimana karakter mendasar manusia pada hakikatnya butuh untuk berinteraksi secara langsung dalam bentuknya yang kongkrit.
Pada sisi yang lain Modernisasi juga telah secara pelan tapi pasti merubah kultur local menjadi lebih terbuka (inclusive) dengan mengikuti perubahan yang terjadi. Pada titik ini, Budaya lokal yang dianggap Sacred (suci) oleh masyarakat dan selalu dijadikan pijakan dalam setiap tindakannya lambat laun megalami pergeseran. Fakta ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya manusia adalah dinamis sehingga arus perubahan yang masuk tidak di response dalam bentuk resistensi, namun sebaliknya masyarakat mencoba lebih terbuka (Open-Minded) dengan tradisi baru yang dianggap memberikan makna positif dalam rangka mendorong sebuah kemajuan. Lebih jauh fakta perubahan juga memungkinkan mereka untuk tidak tunduk pada tradisi lama yang di anggap tidak mendukung kemajuan.
Pesantren sebagai lembaga Islam traditional tertua di
Perubahan dimaksud salah satunya adalah dapat kita lihat dari Pola hubungan Kyai-santri yang pada awalnya kita kenal bersifat Patron-Client yang mengandaikan pola hubungan Guru-Murid. Sebagai Seorang Guru, Kyai tidak hanya di kenal sebagai sosok yang mempuni dalam ilmu pengetahuan agamanya serta memiliki akhlakul karimah, namun pada sisi yang lain Kyai juga mempunyai pengaruh yang sangat luas di dalam masyarakat melalui Kharisma yang mereka miliki. Tak pelak, Kyai merupakan figure dambaan Umat dan senantiasa mendapat tempat yang mulia dan tinggi dalam struktur masyarakat.
Sebaliknya sebagai seorang Murid, Santri merupakan elemen Pesantren ke Empat (baca; Tradisi Pesantren) yang dalam kedudukannya lebih rendah dari Kyai dan sebagai pengikut Kyai yang harus senantiasa Taat, Tawaddu dan Hormat kepada gurunya. Santri dalam kehidupan sehari-harinya harus senantiasa mengikuti apa yang di titahkan (katakan/ ajarkan) oleh seorang Kyai. Mengapa santri harus tunduk dan patuh pada Kyai? Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa Kyai merupakan sumber ilmu pengetahuan di Pesantren dan Penjaga moral santri (Moral Guided), sehingga tidak patuh terhadap Kyai berarti mereka (santri) telah merusak tradisi pesantren yang telah dibangun ribuan tahun lamanya dan hal ini akan dianggap sesuatu yang deviant (tidak wajar).
Bagaimanapun, arus modernisasi sebagaimana di singgung diatas telah sedikit banyak membawa pergeseran pada peran Kyai dan santri di Pesantren sehingga Kultur yang selama ini tumbuh subur kemudian mengalami degradasi akibat perkembangan global.
Perubahan relasi Kyai –santri dapat kita lihat dalam ketundukan seorang Santri yang mulai berkurang sebagai diakibatkan oleh bergesernya peran Kyai di dalam pesantren maupun Masyarakat. Sosok Kyai yang dahulu di segani dan berpengaruh karena memiliki kharisma yang jarang dimiliki orang lain, mulai bergeser ketika mereka merambah kewilayah politik dengan ikut berperan dalam kegiatan politik praktis.
Pada sisi yang lain, seiring dengan demokratisasi di